Menyedihkan ketika mendengar seorang anak mengeluhkan penghasilannya yang kecil. Sangat ironis pula kala seorang anak menganggap bermain sebagai kegiatan yang buang-buang waktu karena tidak menghasilkan uang. Mereka tahu, bermain dan belajar adalah hak mereka. Namun, entah mengapa, angin kehidupan justru membawanya jauh dari mimpi itu.
Bagi para pekerja anak, bermain dan belajar bisa jadi merupakan barang mahal. Dalam usia yang masih belasan tahun atau bahkan balita, konsep kewajiban bekerja untuk menghasilkan uang sudah tertancap kuat di benak mereka. Mereka dipaksa untuk berpikir dan berperan sebagaimana orang dewasa dan melewatkan proses belajar nilai yang seharusnya mereka lakoni.
Menurut Psikolog Anak dan Remaja Alva Handayani, usia 0-12 tahun merupakan masa perkembangan otak dan kepribadian yang sangat penting bagi seorang manusia. Saat itulah seseorang mempelajari nilai-nilai afeksi, toleransi, kepemimpinan, rasa hormat, dan keterampilan hidup dari teman sebayanya. Inilah yang akan menjadi pegangan mereka ketika memasuki dunia remaja dan orang dewasa.
Tidak peduli pekerjaan anak itu berupa penyanyi cilik atau buruh bangunan, keduanya sama-sama dianggap merenggut hak anak untuk bermain dan belajar. “Mungkin pada kasus pekerja anak golongan atas itu cukup beruntung karena orang dewasa di sekelilingnya lebih mengerti dan berpendidikan. Akan tetapi bagi anak dari kelas bawah, risiko pelanggaran haknya jauh lebih besar,” katanya.
Bisa saja waktu bekerja anak dipadankan dengan waktu bermain anak. Pasalnya saat bekerja, anak juga berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman sebayanya yang juga pekerja. Namun bagaimana dengan waktu belajar mereka? Berdasarkan UU, bukankah setiap anak wajib mengenyam pendidikan dasar 9 tahun? Hak ini sering kali dilanggar oleh para majikan dan orang tua.
Bagi pekerja anak, upaya untuk menyeimbangkan perkembangan dengan membagi waktu bermain bersama teman sebaya juga tidak mudah. Bagaimana tidak, di tempat kerja dia dituntut untuk berpikir seperti orang dewasa. Akan tetapi, saat kembali ke lingkungan teman sebayanya, dia harus segera bertingkah sebagai anak-anak lagi supaya diterima. Tanpa kemampuan adaptasi yang cepat ini, besar kemungkinan dia akan ditolak oleh teman sebayanya. Kalau sudah begitu, seorang pekerja anak akan terjebak lebih dalam di dunia orang dewasa.
“Pekerja anak itu akan lebih banyak bergaul dengan orang dewasa sehingga menjadi dewasa sebelum waktunya,” katanya.
Kemampuan beradaptasi itu hanya bisa didapatkan seorang anak dengan bimbingan dari orang dewasa. Namun di lingkungan pekerja anak, jarang ada orang dewasa yang memiliki waktu dan pengetahuan untuk melakukan hal tersebut. Hampir selalu ada agenda tersembunyi di balik bimbingan orang tua atau majikan, yaitu mengambil keuntungan dari sang anak.
Menjadi dewasa sebelum waktunya, bisa menjadi berbahaya bagi perkembangan anak. Pada suatu titik, anak-anak yang terlalu banyak bergaul dengan orang dewasa akan merasa boleh melakukan apa saja, termasuk beberapa kebiasaan buruk orang dewasa. Misalnya, merokok atau menggunakan narkoba.
Alva juga memperingatkan tentang kelelahan psikologis yang dapat menyergap para pekerja cilik ketika mereka beranjak dewasa. Bagaikan lampu senter yang dinyalakan sejak siang, dia akan redup ketika malam tiba.
Jika pada usia muda anak Indonesia sudah merasa muak untuk berjuang, tidak dapat dibayangkan bagaimana jadinya bangsa ini di masa depan. Beberapa pihak mungkin menganggap pekerja anak sebagai jalan pintas menyelesaikan masalah perut yang sesaat. Namun, sepadankah itu dengan dampak psikologis yang harus ditanggung bangsa ini?
0 komentar:
Posting Komentar